Postingan sebelumnya, klik di sini
Kulirik kaca besar yang terpajang di salah satu gerai. Pantulan bayangannya membuatku puas. Balutan dress berwarna pink, pump shoes berwarna pastel dan hand bag warna ungu muda, membuat rasa percaya diriku melesat ke level paling tinggi.
Kuedarkan pandanganku menyapu cafe d’Chocolate, hmm tidak ada. Kutekan beberapa angka di layar ponsel.
“Raffa, aku udah di depan cafe nih.” Kataku tanpa basa basi.
“Aku lagi di toilet. Kamu nunggu dalam cafe aja.”
Kumatikan ponsel dan mendengus kesal. Aku melangkahkan kaki memasuki cafe. Aku memilih tempat duduk di sudut kanan. Pemandangan gedung pencakar langit yang berjejer rapi, papan reklame raksasa yang menampilkan wajah artis Korea dan padatnya arus lalu lintas membuat sudut ini menjadi favoritku.
15 menit berlalu tapi Raffa tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Pandanganku tertumbuk pada sosok yang baru memasuki cafe. Lelaki berusia sekitar 30-an, kemeja abu-abu dan celana kain berwarna senada membalut tubuhnya yang ramping, sepatu pantofel mengkilap dan potongan rambut cepak menyempurnakan penampilannya. Tak salah jika beberapa pasang mata mengikuti gerak lelaki ini.
“ Sayang, maaf yah telat, tadi aku ketemu Pak Nugroho di lantai 2, biasa ngobrol bentar tentang masalah kantor.” Seloroh lelaki itu sambil duduk di sampingku.
Aku bergeming.
Lelaki itu tiba-tiba menatapku lama. “Cantik sekali kamu hari ini.” Ucapnya seraya mencium pipiku.
Aku tersenyum simpul dan membalas ciumannya di pipi.
“Sayang, gak lupa kan janji hari ini.” Ucapku manja.
“Gak donk sayang, kan aku udah janji.” Jawabnya sambil mengeluarkan amplop coklat kecil dan diletakkan di hadapanku.
Wajahku langsung berbinar cerah. “Ahhh sayaang makasih, kamu memang paling oke.” Kataku seraya mengecup pipinya lagi.
“Pulang dari Bali, kita ke puncak yah, udah lama kita gak bermalam di villamu. Dan jangan lupa oleh-oleh yah.”
“Kalo soal oleh-oleh, okelah. Tapi ke villa, nanti dulu yah sayang. Pulang dari Bali aku udah janji sama anak-anak mau liburan bareng.”
“Ya udah deh, terserah kamu aja kapan bisanya. Sayang, aku balik duluan yah, aku harus ketemu klien.”
“Oke, hati-hati dijalan.”
Kupercepat langkahku. Napasku memburu. Peluh mulai membasahi tubuh. Kucegat taksi dan meminta untuk mengantarku dengan kecepatan tinggi.
“Gawat!”
Aku melirik jam di tangan, sudah lewat 3 menit! Kupercepat lariku, walaupun tahu bahwa itu hanyalah sia-sia.
Aku sudah telat!
“Tidak apa-apa.” Kataku menenangkan hati.
Aku mulai memasuki ruangan dan mengetuk pintu. Seketika semua mata di dalam ruangan ini melihat ke arahku.
“Kemana aja kamu? Pak Benny udah menunggu sejak 15 menit lalu!!“ Sembur Mami Erna sambil mencengkram lenganku.
“Tapi aku kan baru telat 3 menit, Mi, salah dia donk yang datengnya kecepetan.”
“Gak usah banyak alasan, biar 3 menit itu udah telat Nina!! Jangan pernah telat lagi. Ingat klien adalah raja, mereka sumber uang kita!! Camkan itu Nina!!”
Aku meringis kesakitan. Tatapanku beralih ke Pak Benny, yang sudah tak sabar menunggu untuk menjamah tubuhku.
Kudekap erat-erat tasku, didalamnya ada setumpuk uang dan dihadapanku ada tambang uang. Cukuplah untuk biaya berobat Emak.
wauwww,,,jadi?