Tawaran Warti mengusik tidurku. Aku tak bisa memejamkan mata, omongan Warti melintas terus di benakku. Aku melirik ke samping, Sari tidur lelap sambil memeluk boneka pandanya yang mulai usang. Kuusap rambutnya, lalu kucium pipinya. Lama. Aku mendesah panjang. Kutarik kain menutupi setengah tubuh dan kucoba pejamkan mata.
Bias sinar matahari membuatku terjaga. Jam 6 pagi. Sari masih terlelap. Aku bergegas ke dapur, masak air dan menggoreng tahu tempe sisa kemarin. Jam 8 aku dan Sari sudah siap dengan pakaian yang paling bagus. Kuhubungi Warti, mengabarkan aku siap dijemput. Tak lama berselang Warti tiba di rumahku dengan senyum tersungging di wajahnya.
“Ayo, tempatnya ngga jauh. Naik angkot sekali saja.” Ucap Warti. Aku hanya mengangguk.
Butuh 15 menit untuk tiba di tempat kerja Warti. Aku terperangah menatap bangunan megah dihadapanku. Sebuah gedung bergaya minimalis 3 lantai.
“War, bagus banget tempat kerjamu.” Warti hanya tersenyum.
Sebuah neon box bertuliskan ‘Nora Salon dan Spa’ menjadi penunjuk apa pekerjaanku nanti. Warti mengajakku masuk lewat pintu samping. Aku dibawa menuju ruangan besar di lantai 2. Udara dingin menerpa wajahku saat Warti membuka pintu. Sari mengeratkan pelukannya. Seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, berperawakan sedang, berbadan langsing memakai kemeja dipadu jeans dan high heels menyambut kami dengan senyum yang ramah.
“Silahkan duduk.”
“Mbak Nora, ini Yuni yang aku ceritain kemarin tuh. Yun, ini mbak Nora, pemilik Salon ini.” Warti menjelaskan. Aku tersenyum kaku sambil mengulurkan tangan. Wanita dihadapanku menyambut uluran tanganku.
“Okei, Yun. Kata Warti, kamu mau kerja di sini?”
“Iyah, mbak, tapi aku ngga bisa motong rambut loh, apalagi mijit.”
“Kamu akan ditraining sama Warti beberapa hari ini, nantinya kamu kerja di salon bukan spa. Pasti kamu bisa. Dalam seminggu kerjanya enam hari saja, satu hari off, harinya kamu pilih. Untuk gajimu, selama training tiga bulan, aku bayar satu juta per bulan. Gimana?”
Satu juta per bulan? Gusti Allah, akhirnya aku bisa membeli susu untuk Sari. Aku mendekap Sari erat dan mengangguk cepat.
“Baiklah, hari ini kamu langsung training. Nanti anakmu bisa dititipkan di tempat penitipan anak, di ruko sebelah, gratis untuk karyawanku.”
“Iyah, mbak. Terima kasih.”
Hatiku terasa penuh. Akhirnya aku bisa punya uang, tak mengharapkan lagi uang dari ibu. Ternyata omongan miring tetangga tentang Warti tak benar, buktinya Warti kerja di Salon bukan tempat esek-esek. Ahh, mereka iri aja liat Warti punya banyak uang. Aku tersenyum menatap Sari, ia pun tersenyum memperlihatkan giginya yang belum lengkap.
**
“War, cantik si Yuni, pasti mas Gito mau. Sesuai seleranya.” Ucap Nora seraya mengepulkan asap rokok dari bibir merahnya.
“Hehehe pilihanku tak salah mbak. Tubuhnya yang sintal, rambut hitam panjang, kulit sawo matang, langsing dan lugu, pasti cocok sama mas Gito. Susah payah loh mbak, aku bujuk Yuni. Kalo udah deal sama mas Gito, jangan lupa yah mbak komisiku.” Tukas Warti.
“Pastilah.”
“Aku ke bawah dulu, mbak. Yuni udah tunggu.”
“Oke.”
**
caritanya sangat menarik. tidak sia2 luangin waktu untuk baca..
Keren anet! >,<
Jahat banget deh si Warti, temen sendiri dijual
@mbak Susanti : iyah jahat bener *_*
Ih…si Warti nyebelin >_<
@Teh Orin : heheheh
Sariiiiiiii, nangis cepetan biar ibumu datang!!! 🙁
@Mak Isti : haduh T_T
sari gimana sari? 🙁
@Mbak La : sari lagi di sebelah, tempat penitipan anak 😀
duh, yuni dijebak. Kesian
cepet kabur yunnnnnn….!
😀
Ternyata oh ternyata.. Yun kamu dijebak Yun! Kabur Yun!
Ih, Wartiii…
Endingnya naik turun naik yah 😀
warti.. warti…
Waduh….