Sejak percakapan via ponsel dengan Farid yang putus tiba-tiba 2 jam lalu, sampai detik ini tak ada kabar dari Farid. Ponselnya pun tak bisa dihubungi. Aku menatap cangkir kopi yang ketiga, kubiarkan kopinya menguap sampai dingin. Sesekali kulirik ke arah pintu masuk dan jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku, tapi dia tak kunjung datang.
Ini adalah kesekian kali aku menunggu Farid. Dan setiap janji ketemu selalu berakhir tangisan. Farid selalu lupa akan janji ketemu, kadang alesannya meeting mendadak, lupa dan entah bermacam alasan yang membuat aku menangis.
Kuambil ponsel dan mengetikkan cepat sebuah pesan singkat. Kuteguk sisa ampas kopi, lalu beranjak ke meja kasir membayar pesanan.
“3 tahun bersama, Farid tak berubah sedikit pun, sepertinya sudah cukup semuanya.”
**
Evi tiba di rumah dengan tubuh basah kuyup. Sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya duduk di teras rumahnya. Evi mempercepat langkah dan menghambur dalam pelukan lelaki itu.
“Evi, ada apa?” Tanya lelaki itu bingung.
Evi tak menjawab, hanya tangis yang pecah di pelukan Rizal, sahabatnya.
**
Tak biasanya Evi telat. Sudah 2 jam aku berada di coffee shop ini dan ia tak kunjung datang. Sialnya, ponselku mati dan aku tak bisa menghubunginya.
Kuputuskan untuk menemui Evi di rumahnya. Siapa tau Evi tak jadi datang karena hujan deras.
Langkahku terhenti saat tiba di depan rumah Evi. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Evi berpelukan dengan Rizal di teras rumah. Ada rasa sesak mencabik dada.
5 menit berlalu, akhirnya kuberanikan diri untuk menemui mereka.
“Evi..”
Rizal dan Evi tersentak mendengar suaraku.
“Farid..” Ucap mereka berbarengan.
“Evi, aku menunggumu 2 jam di coffee shop stasiun Gambir dan kamu tak kunjung datang, makanya kuputuskan untuk ke sini.”
“ Aku menunggumu 2 jam di coffee shop d’Orange sebelah stasiun Gambir Farid! Kan kita selalu janjian di situ, apa kamu lupa?”
“Maaf, aku pikir coffee shop di dalam stasiun Gambir, suaramu di telpon tadi tidak jelas.”
Evi bergeming, air mata membasahi pipinya. Aku tak tega melihatnya menangis.
“Aku berusaha berubah, Vi. Aku berusaha perbaiki. Tapi bener Vi, aku menunggumu di coffee shop 2 jam. Maafin aku.“ Ucapku sambil menyodorkan nota pesananku dan berlalu meninggalkan mereka berdua.
Kupercepat langkah. Tanganku erat memegang kotak kecil di saku celana.
‘Sebenarnya hari ini aku ingin melamarmu, Vi. Tapi sekali lagi aku mengecewakanmu. Aku tak pantas. Rizal, dia selalu ada untukmu dan dia pantas menjadi pendampingmu.’ Bisikku dalam hati.
Masuk ga ya komen aku sblm ini? -_-?
@Jun : hehehe makasihh dah coment 😉 masuk kok
Farid oh farid kenapa km kurang berani sih? Kayak di ftv2 ya? #horeakhirnyabisaComment *jingkrak2*
aturan melamar pas lagi dirumah, bisa enak + hemat dibanding coffea shop, hehehe
tapi begitulah cinta, sulit di tebak, dan sulit juga menebak 🙂
haish, pada rajin bikin FF
Mau ikutan, ah 😀
@Mbak Fatwa : makasih sarannyaaa mbak 😉
aku pernah miss gini haduhh nyesekkk 😛
@Mak Hana : emg nyeseek maaak
yang cewek manja
yang cowok penakut
sampai tuju turunan ya nggak bakal jadi
@Mbak Mel : wkwkwkwkwk makanya gag jadi 😀
Duuh.. miskomunikasi.. 😐
Mbak Rini : iyah nih -_-“
hihihi… jadi inget pengalamanku waktu masih pacaran ma suami, tapi di terminal, mbak… sampe camer ikut bingung… 😀
@Mbak Dpwahyuni : hahaha pasti salting yAah 😀
tapi kok ujug2 pelukan sama rizal… bagian ininya agak ga nyaman. mungkin bisa diganti tamparan yang lebih manis. tapi aku juga blm kepikir sih misalnya gimana hehe…
@Mbak La : *mikiirr* di remake aja mbak 😀 hihihihi
Hmmmm… perpindahan PoV yang menarik ^_^ Trus itu di coffee shop beli 2 jus? saking lamanya nunggu atauuuuu……
@Mak Carra : ataaaauuu terserah anda #eh hihihi saking lama, 2 jaaamm
kak, ini ceritanya 3 pov, gitu ya? anw, suka twistnya 😉
@Ruri : iyah dek..makasiiihhh ;;)
hmmm gara2 salah paham 🙁
@Mak Nathalia : salah paham,salah tempat
jadi salah tempat ya
@Teh Lidya : iyah -_-‘