Prompt #11 : Terlambat

Sejak percakapan via ponsel dengan Farid yang putus tiba-tiba 2 jam lalu, sampai detik ini tak ada kabar dari Farid. Ponselnya pun tak bisa dihubungi. Aku menatap cangkir kopi yang ketiga, kubiarkan kopinya menguap sampai dingin. Sesekali kulirik ke arah pintu masuk dan jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku, tapi dia tak kunjung datang.

Ini adalah kesekian kali aku menunggu Farid. Dan setiap janji ketemu selalu berakhir tangisan.  Farid selalu lupa akan janji ketemu, kadang alesannya meeting mendadak, lupa dan entah bermacam alasan yang membuat aku menangis.

Kuambil ponsel dan mengetikkan cepat sebuah pesan singkat. Kuteguk sisa ampas kopi, lalu beranjak ke meja kasir membayar pesanan.

 “3 tahun bersama,  Farid tak berubah sedikit pun, sepertinya sudah cukup semuanya.”

**

Evi tiba di rumah dengan tubuh basah kuyup. Sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya duduk di teras rumahnya. Evi mempercepat langkah dan menghambur dalam pelukan lelaki itu.

“Evi, ada apa?” Tanya lelaki itu bingung.

Evi tak menjawab, hanya tangis yang  pecah di pelukan Rizal, sahabatnya.

**

Tak biasanya Evi telat. Sudah 2 jam aku berada di coffee shop ini dan ia tak kunjung datang. Sialnya, ponselku mati dan aku tak bisa menghubunginya.

Kuputuskan untuk menemui Evi di rumahnya. Siapa tau Evi tak jadi datang karena hujan deras.

Langkahku terhenti saat tiba di depan rumah Evi. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Evi berpelukan dengan Rizal di teras rumah. Ada rasa sesak mencabik dada.

5 menit berlalu, akhirnya kuberanikan diri untuk menemui mereka.

“Evi..”

Rizal dan Evi tersentak mendengar suaraku.

“Farid..” Ucap mereka berbarengan.

“Evi, aku menunggumu 2 jam di coffee shop stasiun Gambir dan kamu tak kunjung datang, makanya kuputuskan untuk ke sini.”

“ Aku menunggumu 2 jam di coffee shop d’Orange sebelah stasiun Gambir Farid! Kan kita selalu janjian di situ, apa kamu lupa?”

“Maaf, aku pikir coffee shop di dalam stasiun Gambir, suaramu di telpon tadi tidak jelas.”

Evi bergeming, air mata membasahi pipinya. Aku tak tega melihatnya menangis.

“Aku berusaha berubah,  Vi. Aku berusaha perbaiki. Tapi bener Vi, aku menunggumu di coffee shop 2 jam.  Maafin aku.“ Ucapku sambil menyodorkan nota pesananku dan berlalu meninggalkan mereka berdua.

Kupercepat langkah. Tanganku erat memegang kotak kecil di saku celana.

‘Sebenarnya hari ini aku ingin melamarmu, Vi. Tapi sekali lagi aku mengecewakanmu. Aku tak pantas. Rizal, dia selalu ada untukmu dan dia pantas menjadi pendampingmu.’ Bisikku dalam hati.

 nota

24 Comments

  1. jun 7 May 2013
    • ranny 8 May 2013
  2. jun 7 May 2013
  3. Andy 6 May 2013
  4. anazkia 4 May 2013
  5. ranny 4 May 2013
  6. hana sugiharti 4 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  7. Mel 4 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  8. rinibee 4 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  9. dpwahyuni 3 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  10. Latree 3 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  11. RedCarra 2 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  12. Ruri A.R. 2 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  13. Nathalia DP 2 May 2013
    • ranny 4 May 2013
  14. Lidya 2 May 2013
    • ranny 4 May 2013

Reply Cancel Reply