#RandomStory : Belajar Dari Cak Rusdi Mathari

Sekitar dua-tiga minggu lalu saya membaca sebuah status di Facebook. Status yang sukses membuat saya terharu dan merenung.

Iya, status itu berasal dari akun Cak Rusdi Mathari.

Sebentar, kalian pasti bertanya, siapa Cak Rusdi Mathari? Kerabat saya? Teman di dunia nyata?

Beliau bukan kerabat maupun teman. Saya mengenalnya di Facebook.

Untuk kalian yang bekerja di bidang jurnalisme, pasti mengenal beliau. Ya, Cak Rusdi adalah wartawan senior.

Pertama kali tahu tulisan beliau itu dari status Mas Iqbal Aji Daryono. Sebuah status yang panjang tapi tidak membosankan.

Tak ragu, saya klik add friend di Facebook beliau. Saya sempat ragu apakah beliau mau menerima atau tidak.

Barangkali melihat mutual kami, orang yang dikenalnya, beliau menerima pertemanan saya. Ah, atau mungkin beliau menerima permintaan dari siapa saja ya.

Okay balik ke topik.

Di status yang panjang itu, Cak Rusdi mengatakan kekagumannya atas sosok Pak Bambu. Bahkan anaknya pengin dinamakan Bambu, tapi urung dilakukannya karena penolakan Pak Bambu yang mengatakan mending nama Goenawan Mohamad saja (seems familiar with that name? No? Errr).

Ini nih statusnya

Di situ juga, Cak Rusdi mengatakan bahwa Pak Bambu telah mengubahnya. Mengubah dalam artian positif ya.

Pak Bambu adalah seorang editor andal majalah Tempo (dulu). Beliau tak segan mengedit brutal tulisan para wartawan termasuk milik Cak Rusdi.

Tulisan pertama Cak Rusdi, diedit hanya menyisakan titik-koma dari tulisan asli. Di situ Cak Rusdi tertegun.

Singkat cerita, Cak Rusdi mulai belajar mengamati cara Pak Bambu mengedit tulisan. Dan Cak Rusdi belajar dari kesalahan, bagaimana membuat tulisan yang menarik sehingga sedikit atau bahkan tidak perlu diedit.

Pak Bambu telah mengubah Cak Rusdi ke arah menulis lebih baik.

Dari sekian banyak tulisan Cak Rusdi, ada satu yang mendapat pujian dari Pak Bambu. Dan itu membuat Cak Rusdi senang banget.

Iya, tak ada pujian yang dinantikan Cak Rusdi selain dari Pak Bambu. Jika, Pak Bambu yang memuji berarti tulisannya benar-benar bagus.

Ini nih status Cak Rusdi versi lengkapnya.

Pernakah kita belajar dari kesalahan menulis?

Pengalaman Cak Rusdi itu juga sama dengan yang saya alami selama menjadi bloger.

Tulisan saya dulu begitu alay, lalu saya belajar untuk memperbaikinya. Masih saja ada yang kurang pas.

Seperti memasak, kayaknya ada bumbu yang kurang.

Saya pun terus mempelajari teknik menulis. Berguru pada Mak Car, bloger luar sebangsa Om Darren yang senang berbagi tips menulis.

Dan saya menemukan ‘lubang-lubang’ kesalahan itu.

Hingga saat ini, saya masih terus belajar membuat tulisan yang terstruktur. Tulisan dari sudut pandang pembaca.

Sungguh, itu tidaklah mudah.

Status dari Cak Rusdi itu seperti oase di gurun. Menyegarkan.

Seorang Cak Rusdi saja belajar dari kesalahan menulis. Belajar-belajar-belajar hingga sampai pada titik, tulisannya itu bagus!

Semua berproses. Nggak ada yang instan.

Jika kita menemukan kesalahan dalam menulis, mengapa tidak diperbaiki? Typo yang berhamburan dijadikan kebanggaan? Hmm …

Sebagai bloger, tulisan kita itu dibaca oleh siapa saja.

Memang benar menulislah dengan hati, blog ini punya saya (jadi terserah saya mau nulis kayak gimana).

Tapi, tak inginkah kita membuat pembaca mengerti apa yang ditulis, meminimalisir typo, bikin terstruktur waktu kejadian, tidak ada ‘lompatan kuantum’ berujung pembaca mengernyit, menyeragamkan penggunaan saya, aku atau lo di seluruh paragraf?

Okelah, masalah EBI itu mengalir, bisa diperbaiki karena KBBI senang banget berubah kapan saja (seperti kamu)  *dirajam tim KBBI 😀

Tapi, setidaknya cobalah sesekali kita membuat tulisan dari sudut pembaca, ada self editing, diperbaiki tata bahasa.

Pilihan itu ada di tanganmu

Kalian tahu, Cak Rusdi itu pintar menenun kata-kata. Diksinya sederhana tapi pas.

Apakah dari awal Cak Rusdi sudah sebagus ini tulisannya? Tidak.

Dikatakannya, dia belajar. Iya, belajar dari tulisan yang diedit brutal oleh Pak Bambu.

Saya ingin seperti beliau. Menemukan, belajar dan memperbaiki.

Saya tak ingin kalah oleh keegoisan bahwa tulisan saya ini sudah bagus (versi pribadi).

Jujur, saya bisa merasakan jika tulisan masih ada yang kurang. Itulah mengapa menulis bagi saya nggak bisa selesai dalam waktu sepuluh menit!

Seperti Cak Rusdi yang merasa pujian Pak Bambu adalah surga. Saya pun memiliki sahabat yang juga pembaca pertama dari tulisan-tulisanku.

Mendapatkan pujian dari dia seperti mengerjakan soal fisika dan matematika di saat bersamaan. Susah!

“Belum bagus tulisannya, bukan berarti jelek,” ujarnya.

Iya, masih di level itu tulisan saya.

Apakah saya marah? Dikit sih. LOL. Tapi, saya nggak mau kalah, saya mau belajar lagi menyulam kesalahan menulis.

Saya pengin denial saat sahabat mengatakan tulisanku belum bagus. I’ll try to defend him.

Tapi, akhirnya percuma saja. Untuk apa? Memuaskan ego?

Ah, saya berusaha menanggalkan baju keegoisan dalam menulis. Berusaha banget!

Saya percaya, jika kita berusaha maka perubahan itu akan nyata bukan sekedar fatamorgana saja.

Ahh, matur nuwun sanget Cak Rusdi. Statusmu membuat saya termotivasi dan belajar memperbaiki kesalahan.

Jadi, masihkah kita akan terus bertahan dengan kesalahan menulis, memeliharanya, tak ingin maju untuk belajar dan memperbaikinya?

Saya ingin mengutip kalimat dari Benjamin Franklin : either write something worth reading or something worth writing.

Yes, I want write something worth reading!

Now, the choice is yours.

Selamat berakhir pekan. <3

17 Comments

  1. nur rochma 2 March 2018
  2. Ina 2 March 2018
  3. Prima Hapsari 23 May 2017
  4. mutia 18 May 2017
  5. Uci 4 May 2017
  6. herva yulyanti 4 May 2017
  7. Fanny F Nila 2 May 2017
  8. Ana Ike 1 May 2017
  9. nana 30 April 2017
  10. Sara Neyrhiza 30 April 2017
  11. Wiwied widya 29 April 2017
  12. Fubuki Aida 29 April 2017
  13. arinta adiningtyas 29 April 2017
  14. Rikawa 29 April 2017
  15. Ety Abdoel 29 April 2017
  16. Damar Aisyah 29 April 2017

Reply Cancel Reply