“Tidak tentang percakapan-percakapan panjang dengan desahan kekecewaan yang kuhempaskan setiap kali kudengar namanya kau sebutkan. Tawatawa diantara perbincangan kalian, meski sesekali masih kudengar namaku kau sebut perlahan. Pesan pendek yang terkirimkan, dan kubaca diam-diam sembari berkubang pertanyaan. Meski tak juga kutemukan jawaban.”
Lelaki itu telah menunggunya dengan sekotak salad. Dia tahu perempuan itu menyukainya dan pizza. Terlalu besar mungkin jika hanya untuk berdua. Diacuhkan saja pesan pendek yang baru saja diterimanya. Toh, malam ini adalah malamnya.
Dan perempuan itu datang sambil menenteng minuman kaleng. Dia beli sekaligus empat rasa karena dia lupa rasa apa yang lelaki itu suka. Ah, tidak. Dia tidak lupa, karena memang dia tidak pernah mengetahuinya. Apa yang dia ketahui dari lelaki itu selain namanya. Sisanya, tidak ada.
Lalu mereka bertemu. Tersenyum. Diam. Lalu tersenyum lagi. Saling memandang. Lalu tersenyum lagi.
“Ah, ya, selamat malam.”
Perempuan itu mengawali membuka suara. Lalu keduanya tertawa-tawa.
Ingatan adalah kutukan. Apa yang kita tidak inginkan, justru ada di sana. Sedang apa yang ingin kita kenang, sudah tergerus waktu entah ke mana.
Lalu keduanya tersenyum lagi. Kembali diam. Tertawa. Dan terbahak-bahak.
“Satu tahun, ya? Iya.” Perempuan itu tersenyum tipis.
“Ini reuni. Pertemuan setelah hmm.. entah. Dan waktu adalah jurang yang dalam, memisahkan tidak hanya ruang, tapi juga rasa yang pernah ada. Jadi apa kabarmu?” Lelaki itu menoleh mendapati perempuan di sampingnya tengah menatapnya sendu.
“Masih sama. Hari ini kita tak harus berpesta bukan?”
“Tentu saja, kita tak lagi anak SMU yang bersukacita, atau sedang dimabuk cinta. Kurasa kita sudah menjadi manusia-manusia dewasa. Seperti kurva, sekarang mungkin mencapai titik turun, pertanda semakin sedikitnya waktu yang kita punya.”
Lalu mereka terus berbicara. Seperti ingin merangkum waktu dan meringkusnya hanya dalam sekejap. Selama sekian jam yang mereka punya.
“Jadi, aku pernah menyaikitmu dulu?” Tanya perempuan itu pelan nyaris tak terdengar.
“Nggak, nggak pernah. Justru aku yang sering melukaimu.” Lelaki itu terkekeh.
“O, ya? Aku lupa.” Perempuan itu tersenyum gamang.
Dan mereka kembali tertawa-tawa. Setelah sekian lama, hanya ini yang ada di ingatan mereka. Bahwa yang satu adalah yang lebih baik untuk lainnya. Sehingga tidak ada luka.
Pertemuan adalah soal rindu belaka. Setelah deretan pesan pendek, dan kiriman bunga pada ulang tahun perempuan itu beberapa bulan sebelumnya. Hutang pun terbayar sudah. Tapi bukan karena itu perempuan itu ada di sana.
Hidup adalah persoalan karma.
Jadi di sini mereka sekarang berada. Udara tak lagi beku, dan mereka tak lagi kaku. Lelaki itu dengan sekotak pizza dan perempuan yang minuman kalengnya. Masih terus berbicara, tentang apa saja.
“Untuk setengah hidupku yang telah kau bawa, tinggalkan saja. Telah kusiapkan setengah hatiku untuk kembali membawanya. Mengeratkan serpihan, dan membuang kebencian. Bukankan telah kudapatkan jawaban atas segala keraguan. Relakan janji untuk tidak selesai. Lupakan rasa yang ternyata ilusi belaka.” Lelaki itu menatap lurus ke arah perempuan itu, lalu tersenyum.
Ada sesuatu yang terasa lepas ketika lelaki itu mengucapkannya. Jemari mereka saling bertaut tanpa dipinta. Berjalan dalam diam. Hingga tiba di gerbang pantai. Mereka berdua tersenyum seakan saling tahu apa yang ada di benak masing-masing.
“Terima kasih.” Perempuan itu mendesah pelan.
Lelaki itu mengangguk, lalu menggenggam erat jemari perempuan itu. Tatapan mereka beradu. Seperti tahu apa yang diinginkan, mereka berdua berbalik melawan arah. Terus berjalan menuju mobil masing-masing tanpa menoleh sedikit pun.
Terkadang perpisahan tak perlu lewat kata-kata. Cukup sorot mata yang teduh, segaris senyuman dan tautan jemari yang erat.
Ahemmm.. Perpisahan tanpa menyakiti satu sama lain. Udah ikhlas ceritanya ya Mak? Daripada dipertahankan dan saling mengikat tanpa ada rasa yang diinginkan, mendingan pisah jalan.
🙂
duh kenapa harus berpisah, coba lagi deh dibicarakan hehehe
@Teh Lidya : perpisahan adalah pertemuan yang tertudan #eaaa hehehe
Ranny nulis fiksi lagi 🙂
Kadang perpisahan harus terjadi demi kebaikan kedua belah pihak *mungkin 🙂
@mak Li : hehehe dikit-dikit ajaa sih 😀
Kenapa sulit banget komentar di sini, ya?????
@Mbak Anisa : bisa kok ^^
Nyesek banget. Daridulu aku gak suka yang namanya perpisahan, apa pun alasannya.
@Mbak Annisa : terkadang ada perpisahan yang memang untuk kebaikan *eh gimana* 😀 hehehehe
Kok aku baru nemu blog ini ya?? Sukaaa…
Ajari aku bikin cerpen dong Mba, hihi
@Mbak Rotun : hahahah mungkin karena kita baru ketemu *tsaaah* nah nah jangan belajar di saya hikz masih abal-abal soalnya 😀
Baca ini kok JD inget mantan yak hahahha :D.. Cara2 berpisahnya itu :p.
@Fanny : hahahah masa sih? xD
di setiap pertemuan selalu akan ada perpisahan, entah krn manusianya sendiri, atau krn Kuasa Tuhan 🙂
@Mbak Aprillia : betul sekalii ^^
Saya pikir berujung sedih tapi berakhir manis sekali. ?
@Mas Dani : manis tapi sakit yaak >.<
Duuh, ikut nyesek bacanya.. Kenapa nggak bersamaa coba? Qeqeqe
@Mbak Ety : ya ada sesuatu dan lain hal *halaah