Namaku Calvina. “Mata yang indah”, begitulah harapan ibu, namun kenyataannya mata dan juga hidupku tak seindah harapan ibu, sang pemberi nama. Mendengar syair lagu ini, memunculkan kententraman sekaligus ancaman, dipukul rindu. Bukan perkara yang ringan, mendengar syair ini tanpa mengingat wajahnya. Bagiku, kenangan tentangnya adalah anugerah yang menyesakkan.
Semua bermula 3 bulan lalu. Tirai kamar lantai tiga di gedung seberang rumahku tiba-tiba tersibak. Nampak, sesosok lelaki, yang mungkin berusia 30-an, beralis tebal, rambut sebahu tergerai masai. Sehari, seminggu hingga tiga bulan ini, aku memandanginya dari balik bingkai kaca. Wajahnya mirip sosok yang kerap hadir dalam fantasiku setiap kali merindukan hadirnya kekasih. Tidak persis sama sekali. Tapi cukup membuat desiran halus menelusup dalam dada.
Selepas petang, lampu kamarnya menyala, tirai kamar disibak. Lantas aku bergegas mengintip dari balik bingkai kaca. Melihat kilasan wajahnya, cukup melegakan. Khayalanku tumbuh, berharap dia menatapku lalu tersenyum. Tubuhku meringan, bersama balasan senyumku. Angin akan berpusar dari kakiku, mengulir ke atas dan terbang menujunya. Tirai katun cream membelah, bingkai kaca terbuka pelan. Lalu, tubuhku meluncur ke seberang, merengkuhnya. Adegan angan-angan yang selalu menggenang di benakku. Semuanya buyar, sesaat dia membalik badan dan menutup tirai. Tiap hari, berulang-ulang.
Selepas melihat dia, kesadaranku tertata. Aku bisa merangkai kalimat-kalimat batinku, mengungkapkan apa yang kurasakan dalam sebuah catatan. Barangkali, ini yang dinamakan motivasi cinta. Gairah hidupku menggeliat.
Saat terakhir melihatnya, musim hujan baru di mulai. Dia duduk membelakangi jendela, memakai kaos abu-abu sambil menunduk, entah mengerjakan sesuatu atau membaca. Mustahil menerka apa yang dia kerjakan dari jarak puluhan meter. Aku hanya menyaksikan tengkuk dan rambut belakangnya dari kejauhan.
Petang berganti malam. Aku masih berdiri di samping bingkai jendela, berharap lampu di kamar seberang menyala dan tirai tersibak. Tapi, harapanku menguap. Kututup tirai jendela kamarku. Kubuka lembar demi lembar catatan yang menemaniku 3 bulan terakhir ini. Kugoreskan kalimat-kalimat rindu untuk sang lelaki.
Aku terlonjak seiring pintu kamarku dibuka tiba-tiba. Ibu masuk membawa nampan berisi makanan dan obat. “Makanlah nak, jangan lupa obatnya.” Ibu menatapku penuh kasih sayang, perlahan membuka kunci gelang logam yang memasung tanganku selama 5 tahun.
Aku menatap mata ibu yang dipenuhi bulir air mata. Ingin rasanya aku memeluknya dan berbisik, “Bu, aku sudah sembuh..”.
**
Gambar di ambil di sini
Sedih sekali, ternyata bukan wanita sempurna
Ini diapain ya si wanitanya?
Kkenapa ga bilang aja sih klo udah smbuk. hehe
Penasaran banget,,semoga ada kelanjutannya hehehe
menarik sebenernya. Hmmmm… it did give me an idea. 😀
Entah, jadi remake atau cerita yang lain, let's see.
Minta ijin dulu ya 🙂 idenya kuambil…
heuheu.. pasung itu, pilu… ibunya percaya nggak ya?
sedih
Si perempuan gila yah makanya dipasung?
Fiksi yang bagus, Mbak 😀
@Mbak Ajen : si perempuan mengalami gangguan psikologis. Emg sengaja gag aku jelasin.
saaaad, berat banget ya
Salam
Astin
Saya kok gak bisa nangkep inti ceritanya ya? maksudnya gimana ya mbak?
pertanyaan pertama: kenapa dia dipasung?
paragraf 2-3 bisa diperas jadi satu paragraf. tapi apa yang terjadi setelah 3 bulan sejak melihat laki-laki itu menyibak tirai? perasaan semacam jatuh cinta itu saja? lantas apa? apa hubungannya dengan pasung yang dipasang di tubuhnya?
menurutku ga ada cerita di FF ini.
@Mbak La : #Jleb, menghunjam jantuunggg huhuhuh… baiklah Mbak, diriku edit lagi yaaahhhh *nyungsep di bawah kolong*
Ya ampun kasihan bener
@Teh Lidya : laik dat 😀
oalaaah wanita pasungan ternyata…
ngetwist mba endingnya 😀
@Ronal : makasihhh bang ^.^
so sad mak.. 🙁
@Mak Hana : huhuhuhu