“Selamat tinggal.”
Dua kata itu entah sudah berapa kali kamu ucapkan. Tapi kamu tak pernah beranjak dari tempatmu berpijak.
Aku sudah merelakanmu untuk pergi. Pergi membawa setumpuk rindu dan kenangan
.
Hening.
Yang ada hanyalah suara gemerisik angin.
Memandangi wajahmu saja sudah cukup menyesakkan dada, apalagi meninggalkanmu, ingin rasanya memelukmu tak ingin melepasmu.
Aku memutuskan untuk menahan pedihnya rasa ini, meninggalkanmu.
“Selamat tinggal.” Ucapku sambil berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi.
Biarlah kamu katakan aku kejam, tapi perpisahan ini sudah cukup kejam bagiku.
“Untuk setengah hidupku yang telah kamu bawa, tinggalkan saja. Telah kusiapkan setengah hatiku untuk kembali membawanya. Mengeratkan serpihan, dan membuang kebencian. Bukankah telah kudapatkan jawaban, atas segala keraguan. Relakan janji, untuk tidak selesai. Lupakan rasa, yang ternyata ilusi belaka.” Ucapku pada angin yang menemani langkahku.
**
“Selamat Tinggal.”
Dua kata itu entah sudah berapa kali aku ucapkan. Tapi, aku masih saja berpijak di tempat yang sama.
Kamu memandangiku dalam diammu. Tatapanmu sungguh menyakitkan hatiku. Tatapan pilu. Kamu sudah merelakan kepergianku, tapi aku bergeming.
Inginku, kamu menahanku, untuk tetap tinggal. Tapi kamu tidak melakukannya. Kali ini, kamu mengucapkan dua kata itu untuk pertama dan terakhir.
Aku bergeming.
Tak percaya. Akhirnya, kamu benar-benar meninggalkanku.
Aku menatap punggungmu yang perlahan mulai menghilang di balik jingga senja. Dan aku masih berpijak di tempat yang sama, tergugu dalam tangis pilu.
Posted with WordPress for My Blog
selamat tinggal, ihiks
jangan ucapkan selamat tinggal kalau tidak mau pergi 🙂