Salah satu hal yang paling saya sukai dari kota Solo adalah event budaya setiap bulannya. Tak perlu repot untuk mengetahui apa saja eventnya karena di sepanjang jalan Slamet Riyadi, tepatnya sebelah kanan jalan, ada semacam umbul-umbul yang menunjukkan acara apa saja, tanggal dan tempat. Tak hanya itu, terkadang kita bisa menemui bilboard dekat kantor Walikota yang bertuliskan event selama sebulan penuh. Masih ketinggalan juga? Cek akun media sosial seperti @agendakotasolo dijamin pasti lengkap!
Minggu kemarin, saya tertarik untuk ke Pura Mangkunegaran karena ingin sekali menyaksikan tarian khas Solo dan khususnya ingin melihat pendapa Mangkunegaran di malam hari, yang konon sangat eksotis. Menurut jadwal, acara dimulai pukul tujuh malam.
Kami tiba beberapa menit sebelum pukul tujuh. Jalanan menuju Pura Mangkunegaran macet karena ada acara Shalawat di jam yang sama di depan kantor Walikota. Ditambah juga, depan Pura itu adalah Pasar Ngarsopuro, bisa dibayangkan ramenya Sabtu malam itu! Untunglah kami masih dapat tempat parkir.
Berjalan menuju gerbang, di sisi kiri dan kanan jalan, penjual makanan dan mainan anak-anak mulai rame dikerumuni pengunjung. Tiba di gerbang, cahaya dari lampu-lampu pendapa sangat benderang. Konon, hiasan lampu di seluruh pendapa didatangkan dari Eropa. Secara tak langsung, desain Pura Mangkunengaran sangat kental dengan nuansa Eropa. Di samping pendapa, terdapat penjual makanan khas Solo. Harganya agak sedikit mahal dari biasanya. Tak hanya pengunjung lokal saja yang datang, terlihat beberapa turis mancanegara mulai duduk dan ada juga yang sibuk dengan tripod dan kamera.
Denting gendang dan merdu suara sinden menemani pengunjung sebelum acara dimulai. Sekitar pukul delapan acara dimulai. Bangku terisi penuh dan masih banyak pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk. Di bagian tengah sepertinya dikhususkan untuk keluarga keraton dan undangan.
Gending ditabuh pelan, suara saron dan baron mengalir dalam tempo lambat. Sinden mulai menyanyi pelan, sangat merdu terdengar. Dari arah belakang, nampat sembilan penari masuk dengan langkah gemulai dengan senyum tersungging di wajah. Mereka menarikan tarian Golek Montro sebagai pembuka. Gerakandalam ritme lambat, lembut, gemulai merupakan ciri khas tarian Solo. Mereka menarikan dengan apik, hentakan tangan di balik selendang sangat selaras.
Golek Montro sendiri merupakan karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro VII (1855-1944). Tarian berdurasi tiga puluh menit ini bercerita tentang gadis-gadis keraton yang beranjak dewasa, yang mulai gemar berhias untuk menyambut tamu agung kerajaan.
Mangkunegaran Performing Art selalu dihelat setiap tahunnya. Bertujuan untuk menampilkan tarian jawa klasik yang merupakan koleksi Mangkunegaran. Dikatakan tarian jawa klasik karena tariannya berakar pada tradisi budaya lingkungan keraton. Seluruh gerakan tari jawa klasik mulai dari tangan, kaki , kepala, leher dan tubuh bergerak sesuai pakan keraton. Tak jarang setiap gerakan memiliki filosofi tersendiri.
Acara seperti ini patut diapresiasi sebagai bentuk pelestarian terhadap seni budaya. Setidaknya kita dikenalkan kepada akar budaya bangsa. Hal yang patut kita banggakan karena menjadi ciri khas budaya Indonesia yang tidak bisa ditiru bangsa lain. Tarian ini merupakan identitas bangsa. Semoga, generasi muda masih mau untuk mempelajari tarian-tarian klasik dan budaya kita pun akan terus terjaga.
betul supaya seni daerah tidak punah ya