Negeri Pelangi Mama

negeri pelangi

Sepi itu berbahasa, lewat hembusan angin dan rintikan hujan, lewat getaran dan sensasi rasa.

Seperti sekarang ini. Sepi menjadi temanku bersama desau angin lirih, meniupkan daun-daun kering yang jatuh dari pucuk pohon. Langit seakan tahu isi hati ini. Kelam. Mataku mencoba mencari sosok yang selalu kutunggu. Berharap dia akan datang dari balik gedung tua di depanku, menghangatkanku dalam pelukannya.

“Nak, sedang apa di sini?” Seorang wanita yang wajahnya mengingatkanku pada Nenek datang menghampiriku dan menyentuh tanganku lembut.

“Aku menunggu Mama,” ucapku pelan.

“Tapi, Mamamu belum datang sayang, mari sama Nenek saja. Biar Nenek antar kamu ke rumah,” tukasnya sembari berusaha memegang tanganku.

Namun, aku berusaha untuk tidak membiarkan tanganku berhasil didapat olehnya.

“Aku mau pulang sama Mama!!” tolakku dengan tegas.

“Tapi, di mana Mamamu?”

“Aku tidak tahu!! Tapi, aku hanya mau diantar pulang sama Mama! Nanti pasti dia datang jemput Lea!” jawabku dengan emosi.

Pandanganku tertumbuk pada sosok yang muncul di balik gedung tua itu. Aku melihat Mama dengan payung mungilnya sedang berdiri, tersenyum dan berjalan ke arahku. Mama melangkah mendekatiku dengan hati-hati guna menghindari genangan air. Setelah sampai di depanku, Mama dengan cepat memelukku dan mencium kedua pipiku.

“Lama, ya, sayang menunggu Mama?” Tanya Mama lembut dengan segaris senyum merekah di bibirnya.

“Iya.. Hiks..” ucapku dengan sedikit menangis sesenggukan.

“Ayo kita pulang,” ajak Mama seraya meraih tangan mungilku.

“Ayo,” jawabku dengan meraih tangan Mama.

Dan tak kusadari, aku mendapati diriku sedang berdiri mematung di halaman gereja. Kepalaku menengadah ke atas. Aku melihat hujan tumpah ruah dengan derasnya membasahi setiap sudut gereja mungil ini. Aku mendengar suara jemaat lamat-lamat semakin keras saat mereka ramai-ramai keluar berhamburan dari gereja. Aku dapat melihat alis mereka yang saling bertaut sebagai pertanda rasa kecewa dan bingung berbaur menjadi satu karena hujan telah datang menyambut mereka pada pagi yang indah ini.

Negeri pelangi.

Aku tidak pernah menaruh imaji seorang malaikat pada benakku sebagai gambaran yang menurutku tepat untuk mewakili sosok peri hujan. Namun aku menaruh imaji Mama yang menjadi peri hujan. Aku selalu membayangkan Mama-lah yang memiliki sayap putih mengilat yang tersemat di punggung dengan indahnya. Terbang bersama diriku yang secantik dirinya. Bersama kami mengulum manisnya sinar pelangi, mencecap sepotong senja yang tampak dari atas dan bermain bersama gumpalan awan-awan yang beriak tenang.

“Kita mau ke mana, Ma?” tanyaku.

“Kita ke negeri pelang,” jawab Mama dengan senyuman yang menampilkan dekik di pipi kanannya.

Aku bergeming, berusaha mengingat di mana neger pelangi itu berada.

“Kamu mau?” Tanya Mama.

“Neger pelangi? Tentu saja, aku mau, Ma!” jawabku kegirangan.

Dan dalam pikiran, aku bertanya-tanya apakah negeri pelangi lebih indah dibanding negeri senja?

Mama menggenggam erat tanganku, lalu kami berdua pun terbang menembus semburat cahaya sore yang telah menggantikan rinai hujan. Aku dapat melihat lekuk punggung pelangi terbaring di ufuk barat, dibalik punggung pelangi itu terbentang sebuah negeri. Tempat di mana aku akan menghabiskan waktu bersama Mama dan para peri hujan hingga ujung masa.

**

Jemaat gereja yang baru saja usai menunaikan misa, menghambur menuju jalan di depan. Para perempuan memekik tertahan sambil menutup mulut mereka, para lelaki mendesah pelan melihat pemandangan yang menyayat hati. Seorang anak perempuan terbaring terbujur kaku dengan darah membanjiri seluruh tubuhnya.

“Sudah kuajak dia pulang, tapi dia tak mau.” Seorang wanita tua tergugu bersimpuh di samping tubuh anak perempuan itu.

“Bukannya anak ini selalu berdiri di depan gereja setiap harinya?” Sebuah suara bariton bertanya pelan.

“Menurut desas-desus, anak ini menunggu Mamanya yang tak pernah kembali. Mamanya meninggal ditabrak mobil di depan matanya setelah membeli roti di toko kue depan gereja ini.” Timpal sebuah suara lembut sambil sedikit tergugu.

“Anak yang malang, meninggalnya pun persis seperti Mamanya.” Suara lain menimpali dan diiringi desahan pelan.

“Tapi, lihat wajahnya seperti tengah tersenyum.” Seru wanita tua itu pelan.

Hening.

“Sepertinya anak ini telah bahagia bertemu dengan Mamanya.” Suara lelaki tua memecah keheningan.

“Hujan sudah reda. Eh coba lihat, ada pelangi! Ayo, kita bawa jenazah anak ini ke rumah sakit.”

**

 

 

9 Comments

  1. mila said 14 March 2016
  2. Febriyan 13 March 2016
    • ranny 13 March 2016
  3. Ika Koentjoro 10 March 2016
    • ranny 13 March 2016
  4. Reni Judhanto 9 March 2016
    • ranny 13 March 2016
  5. fanny fristhika nila 8 March 2016
    • ranny 13 March 2016

Leave a Reply