sumber : so-soinspiring.blogspot.com
Ada haru yang menyemak ketika kaki ini menginjak lantai warung makan Bu Dibyo. Aku bergeming. Tamparan halus udara dingin AC tak mampu meredam gejolak di hati ini. Mataku jalang menyapu seluruh ruangan. Masih seperti dulu, tak ada yang berubah. Bau ayam goreng menguar di seluruh ruangan, bau yang sangat kurindukan. Setitik rindu kembali mencuat. Rindu yang selama ini kututup rapat di dasar hati, tapi kali ini aku tak kuasa menahannya. Dada ini terasa sesak.
“Nak Rita, kok ndak masuk? Jangan berdiri aja di depan pintu, ndak bagus kata orang tua. Ayo..” Sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku.
Aku menoleh, Bu Dibyo, pemilik warung sudah berdiri di sampingku dengan senyumannya yang khas. “Iya, Bu.”
“Ke mana aja? Menghilang seperti ditelan bumi. Ibu kangen lho.”
Dada ini makin sesak. Aku menggigit bibir bawah agar bulir bening ini tak tumpah. Kuhela napas pelan. “Sibuk kerja saja, Bu. Banyak tugas di luar.”
“Oo.. Jaga kesehatan, ya,” ujar Bu Dibyo sambil menepuk lenganku. “Ibu ke dalam dulu. Lagi ada pesanan nasi dos. Nanti pesannya langsung aja sama Surti, ya.”
“Iya, Bu. Makasih.”
Aku kembali bergeming saat ditinggal Bu Dibyo. Mataku kembali menyapu ruangan, mencari meja kosong. Dan.. Ah, meja itu lagi. Tanpa bisa menolak, aku melangkah gontai menuju meja di baris keempat sebelah kanan di samping jendela. Sepertinya semesta berkonspirasi membuatku mengingatmu, Sendy. Sosok yang menemaniku selama enam tahun dan dua tahun belakangan ini, dia pergi tanpa meninggalkan pesan padaku.
Warung ini selalu menjadi favoritku dan Sendy menghabiskan malam minggu atau sekedar nongkrong dengan teman. Dan di warung ini pertama kali dia mengungkapkan cintanya. Begitu banyak kenangan yang tersimpan di sini.
Dan kini, aku tak mengerti mengapa Fian mengajakku ke sini. Padahal, dia tahu aku tak mau menjejakkan kaki di tempat ini lagi. Tapi, dia sukses membuatku luluh untuk makan malam di warung ini.
Aku tak selera makan, jadi kupesan saja jus alpukat. Kubuang pandangan ke luar jendela. Lima belas menit berlalu tapi Fian tak jua datang. Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkanku.
“Maaf, Sayang, aku telat. Ditahan ngobrol sama Pak Bos.” Fian menarik kursi di hadapanku sambil memamerkan barisan rapi gigi putihnya.
Aku hanya tersenyum. “Fian, aku baik-baik saja.”
“Maksudmu?”
“Kalau kamu ajak aku ke sini hanya untuk melihat apa aku sudah bisa melupakannya, akan kujawab : aku baik-baik saja. Aku sudah bisa melangkah meninggalkan bayangannya,” cecarku dengan tatapan sinis.
Dia tersenyum, lalu menggenggam tanganku. “Ge-er kamu. Hehehe.. Aku yakin kamu sudah melupakannya. I’m sure it!”
“So?”
Fian melepaskan tanganku, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Will you?”
Aku tercekat, perutku mengejang. Dia menyodorkan sebuah cincin emas bertahta berlian ke hadapanku.
“Kenapa di sini?”
“Karena di tempat inilah aku jatuh cinta pertama kali pada perempuan yang kini duduk di hadapanku.”
Mataku mengabur, perlahan cairan bening mengalir di pipi.
Fian menggenggam erat jemariku. “So?”
“I do..” ujarku mantap.
Cincin emas itu melingkar manis di jari manisku. Ada selusup hangat menyelimuti hati.
Aku tahu akan tiba satu waktu di mana aku benar-benar harus merelakan kematian Sendy. Dan inilah saatnya.
Short and Sweet 🙂
Ngga tahu harus sedih atau senang so sweeet