Manusia Cap Digital

Era digital mengalami kemajuan yang pesat. Semua aspek kehidupan pun serba dimudahkan. Tapi, sayangnya pengguna digital dalam hal ini social media masih kurang mengerti etika-etika dalam dunia maya. Memang sih, etika tersebut tidak tertulis secara gamblang dan disahkan layaknya undang-undang. Etika ini lahir dari kebiasaan pengguna dalam berinteraksi. Mungkin saja etika ini tidak baku, tapi bagi saya pribadi etika harus diterapkan di mana pun kita berada.

Salah satu contoh, penggunaan huruf kapital dalam menulis di chatting atau social media. Hal itu menunjukkan si penulis itu berteriak. Kan tidak baik juga, tapi bagi sebagian orang itu biasa saja. Lain hal nya lagi mengumbar sesuatu bersifat pribadi, entah itu foto maupun cerita. Foto kemesraan yang berlebihan dengan pasangan, keluhan tentang pertengkaran dengan suami atau istri adalah contoh kecil hal yang tidak perlu ditampilkan di social media. Lalu, akan ada suara, ‘itu kan hak saya, ini FB saya, suka-suka gue dong, kalo gak suka unfriend saja’. Hehehe rasanya sudah akrab, ya, kalimat itu? Memang itu hak pribadi masing-masing, hanya saja kita perlu memagari mana yang termasuk ranah pribadi, mana yang umum. Kalau semua diumbar, yaah, gak ada spesialnya dong. Hehehe

Lalu, datang satu masa, di mana kita semua menjadi ‘manusia cap digital’. Kebebasan berbicara dan ditunjang dengan media yang lapang untuk menyuarakan apa saja, konon adalah pionir bagi kelahiran manusia cap digital.

Mungkin kita terlahir sudah ada sifat dasar mencap sesuatu. Sifat ini bisa ditekan, tak perlu ditunjukkan ke luar, hanya perlu sering berlatih saja, sih. Tapi, kadang jika sudah tidak tahan bablas juga tunjukinnya. (kok mbulet, ya hehehe)

Tanpa kita sadari, walau hanya dalam hati (termasuk saya) suka mencap seseorang dari apa yang dia lakukan dan tulis. Cap pun terbagi atas : baik, buruk, lucu, gila, sok, pintar (dan masih banyak lagi tergantung sudut pandang masing-masing).

Tapi, sejak menjamurnya social media, manusia cap digital ini suka sekali mencap sesuatu tanpa pandang bulu, tanpa tahu terlebih dahulu akan sesuatu yang dicapnya, tanpa tendeng aling-aling langsung mencap seseorang bla bla bla *huft*. Dan sifat ‘mencap’ ala manusia cap digital ini semakin akut semenjak pilpres kemarin. Etika, mana etika? Hah, sepertinya etika lagi liburan ke kutub!

Manusia cap digital paska pilpres bisa saya bagi dalam beberapa tipe :

  • Tipe A : suka mencap tanpa tahu duduk perkara, hanya membaca judul saja langsung bikin tulisan bla bla bla
  • Tipe B : mencap dengan elegan, yaitu mencari fakta pendukung untuk meluruskan keadaan lalu menulisnya
  • Tipe C : mencap karena membela yang dipilih tapi sebenarnya yang dipilih tak ingin dibela *heeh*
  • Tipe D : mencap karena merasa satu keharusan karena yang dipilih menang
  • Tipe E : mencap dalam hati saja karena gak ingin bikin keruh suasana dengan tulisan
  • Tipe F : mencap dengan analogi hal-hal yang lucu

Manusia cap digital ini membuat suhu di social media perkiraan saya 11-12 dengan suhu di padang pasir. Walaupun di luar rumah langit mendung dan mulai menitikkan air tetap saja gak berpengaruh terhadap suhu di social media. Ajib banget! Perkiraan saya lagi, suhu social media akan hangat seperti musim semi di Jepang ketika siaran tv menayangkan Piala AFF di mana tim senior sepakbola Indonesia akan berlaga.

Nah, sekarang ini cap yang ada di social media hanya ada dua pilhan : baik atau buruk. Tapi, percuma saja saya bilang. Tanya kenapa? Karena semuanya BURUK untuk saat ini!

Mengatakan fakta tentang isu ini, dibilang sok tahu. Mengatakan santai saja kan udah biasa, dibilang gak peduli dengan rakyat miskin. Mengatakan gak perlu takut karena rezeki sudah ada yang atur, dibilang sekuler. Mengatakan dari dulu pakai pertamax, dibilang apatis dengan rakyat miskin. Belum lagi kehadiran meme, salam terbaru dan hestek tandingan. Kegiatan nyinyir berbanding lurus dengan anti kritik. Semua disamaratakan dengan satu cap : BURUK!

Membahas ini gak ada habisnya. Habis mungkin lima tahun ke depan. Dan akan ada episode lain lagi setelah lima tahun. Begitu seterusnya. (semoga saja tidak, capek keleus)

Dari semua manusia cap digital, akan selalu ada mereka yang kehadirannya bak oase di tengah padang gurun. Membaca tulisan mereka membuat sudut bibir ini tertarik ke atas, menimbulkan efek nyaman di hati. Orang-orang seperti ini mungkin saja banyak beramal, banyak membaca, berbakti pada kedua orangtua hingga bisa membuat orang lain teduh. Terberkatilah mereka.

Seperti yang sudah saya katakan di atas, kita terlahir mungkin sudah memiliki sifat dasar mencap. Hanya saja umur terus berkurang dari kuota, sejatinya kita menjadi manusia cap yang beretika. Tahu batasan dalam mencap sesuatu. Tapi, ah sudahlah..

Kita perlu piknik? Bisa jadi. Pikniknya gak usah jauh-jauh. Tutup dulu segala saluran social media! Itu mungkin piknik termurah untuk saat ini. Sekedar meringankan beban mata, otak dan jari atas rutinitas social media yang memuakkan sekaligus dirindukan. Mungkin selama ini kita jarang berinteraksi dengan tetangga, jarang menelepon orangtua, jarang beramal, jarang jalan pagi atau sore, jarang mandi, jarang bermain dengan anak karena satu kegiatan yang sama, social media. Sudah saatnya kita tinggalkan sejenak, hiruk pikuk social media. Lihat sekeliling, so many things we can do.

Istirahatkan diri kita sejenak dari peran manusia cap digital.

Sekedar tulisan, uneg-uneg dari riuhnya pro kontra di social media.

6 Comments

  1. fanny fristhika nila 30 November 2014
  2. ranny 26 November 2014
  3. dani 23 November 2014
    • ranny 26 November 2014
  4. Lidya 20 November 2014
    • ranny 26 November 2014

Leave a Reply