Hari ini dua puluh lima Januari, lima tahun lalu, dia melangkahkan kakinya menaiki kereta api menuju Jakarta untuk mengadu rezeki. Ada yang tak sempat kuucap ketika punggungnya menghilang di balik pintu kereta. Dan kini, setelah lima tahun berlalu, dia mengabari akan pulang menemuiku untuk mengatakan satu hal penting. Dia berjanji akan pulang dengan kereta yang sama ketika dia pergi pertama kali.
Jam empat sore. Kereta Argo Dwipangga dari Jakarta tiba di Solo Balapan. Jantungku berdegup kencang ketika orang-orang mulai berhamburan di depan pintu keluar. Aku menelan ludah, seorang perempuan berjilbab keluar paling akhir. Aku terduduk lesu di kursi.
“Maaf, Mbak Ira?” tanya perempuan berjilbab yang kulihat tadi.
Aku mendongak, lalu mengangguk lemas.
“Aku Fina. Mungkin Mbak gak kenal aku, tapi aku kenal Mbak lewat Tio.”
Seketika jantung ini kembali berdegup kencang. “Maksudnya?”
“Tio sering menceritakan tentang Mbak Ira, sahabat karibnya,” ujarnya sembari tersenyum. “Aku adalah teman kerja Tio sekaligus calon istrinya.”
Aku tercekat mendengar kalimatnya. Seketika sekelilingku menjadi kelam. Aku berusaha untuk tetap terlihat tenang walau hati ini perih.
Mata perempuan di depanku menerawang, ada kesenduan terpancar dari matanya. Dia menatapku, rekat. “Hari ini harusnya dia sudah tiba di sini dan menemui Mbak. Tapi..” Perempuan itu menghela napas pelan dengan tangis yang ditahan. “Tio meninggal empat hari lalu ketika dia sedang bertugas di Manado. Dia terseret arus banjir bandang yang mendera kota itu. Mayatnya ditemukan sehari kemudian tertimbun lumpur. Oleh, teman-temannya mayatnya langsung dikuburkan karena sudah membengkak.”
Aku terkesiap.
Perempuan itu mengeluarkan sebuah plastik kecil, lantas menyodorkannya padaku. “Sebelum Tio berangkat, dia sudah menyiapkan hadiah untukmu.”
Aku menatap nanar plastik kecil di tanganku. Sebuah kalung dari bahan besi putih dengan buah kalung bertuliskan namaku.
“Mbak, aku pamit, ya.” Perempuan itu tersenyum lalu berlalu meninggalkanku yang masih termangu.
Andai waktu dapat kuputar kembali, aku ingin dia tahu bahwa aku sangat mencintainya.
**
“Ditulis dalam rangka ulang tahun Monday FlashFiction yang pertama”
Wahhh sedih y mbak bersambung yah ini kayaknya seru dibaca terus nih asik gitu…
Walaupun ketebak, tapi aku sedih loh mbak. Kayak kisah nyata yaaa.. Aduh jangan kisah nyata deh.. Kasian banget..
@Ndop : 😀 semoga gak yaaa
Hiksss sedih banget :”(
@Evi : iya sedih 🙁
Hiks… 🙁
@Teh Orin : *sodorin tissue* 😀
🙁
@Mbak La : 🙁
double attack ini sakit hatinya. mau ditinggal menikah, malah beneran ditinggal untuk selama lamanya
@Linda : betull..makasih ya udah berkunjung 😉
Makasih ya Ran… Masih sempet nulis buat MFF di antara semua cobaanmu.
Makin kuat ya ^_^
Peluuuuk…
@Mak Carra : duh Mak jangan gitu dong..apapun untuk MFF ^.^
Mbak ranny mestii wes, bisaa aja bikin emosi gak karuan gini :P. Etapi masi ada beberapa typo tuh mbak 😀
@Mbak Na : huaaa typooo *cari tip ex*
Aduh, sudah meninggal ya? 🙁
@Meliya : ho’h 🙁